JODOH DAN CERMIN
Bismillahirr Rahmanirr Rahim ...
Pasangan adalah bagai sebuah cermin bagi kita, jika ia marah maka
itulah yang kita tunjukan, bila ia lembut maka itu yang kita lakukan,
bila ia tersenyum maka itulah yang kita berikan, bila sedih maka itulah
yang kita rasakan, bila ia tertawa bahagia maka itulah yang kita
usahakan, dan bila ia termenung sendu maka itulah yang kita resahkan.
Maka, berlaku baiklah dihadapan cermin itu, tersenyum, tertawa riang,
lembut hati, selalu merindukannya dan berjanjilah untuk selalu menjaga
hatinya. Maka itulah yang akan kita lihat pada cermin kita ….
Pernah suatu malam ada yang bertanya pada saya, seperti apa jodoh saya?
Saya katakan padanya bahwa jodoh kita adalah sama seperti halnya diri
kita. Siapapun yang menjadi pasangan hidup kita merupakan cermin yang
ada pada diri kita. Jika kita memilih berdasarkan pertimbangan rasa,
ketemu pada medan perjuangan maka pasangan hidup yang kita dapatkan juga
orang yang memiliki karakter yang sama. Namun jika kita memilih
berdasarkan pertimbangan logika semata yang kita dapatkan juga seperti
yang kita kehendaki.
Ketika cinta harus memilih, ada peranan
rasa dan ada peranan logika. Perasaan cocok sering lebih “benar”
dibanding pertimbangan “ilmiah”. Jika seorang wanita dalam pertemuan
awal dengan seorang lelaki langsung merasa bahwa lelaki itu terasa
“sreg” untuk menjadi suami, meski ia belum mengetahui secara detail
siapa identitas si lelaki itu, biasanya faktor perasaan sreg itu akan
menjadi faktor dominan dalam mempertimbangkan.
Sudah barang
tentu ada orang yang tertipu oleh hallo efec, yakni langsung tertarik
oleh penampilan, padahal sebenarnya penampilan palsu. Sementara itu
argumen raasional berdasar data lengkap tentang berbagai segi dari
karakteristik lelaki atau perempuan, mungkin dapat memuaskan logika,
tetapi mungkin terasa kering, karena pernikahan bukan semata masalah
logika, tetapi justeru lebih merupakan masalah perasaan.
Ada
pasangan suami isteri yang dari segi infrastruktur logis (misalnya
keduanya ganteng dan cantik, usia sebaya, rumah tempat tinggalnya bagus,
penghasilan mencukupi, kelengkapan hidup lengkap) mestinya bahagia,
tetapi pasangan itu justru melewati hari-harinya dengan suasana kering
dan membosankan, karena hubunganya lebih bersifat formal dibanding rasa.
Perasaan sreg dan cocok akan dapat mendistorsi berbagai kekurangan,
sehingga meski mereka hidup dalam kesahajaan, tetapi mereka kaya dengan
perasaan, sehingga mereka dapat merasa ramai dalam keberduaan, merasa
meriah dalam kesunyian malam, merasa ringan dalam memikul beban, merasa
sebentar dalam mengarungi perjalanan panjang. Mereka sudah melewati usia
40 tahun perkawinan, tetapi serasa masih pengantin baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar